BREAKING NEWS

Category 5

Category 6

Category 7

ASTRONOMI

Category 2

Category 3

Category 4

Rabu, 30 Maret 2016

Ribuan Spesies Ditemukan dalam Lingkungan Ekstrim Danau di Kedalaman Es Antartika

Danau Vostok, terpendam di bawah gletser di Antartika, sebuah kawasan yang begitu gelap, dalam dan dingin, yang dijadikan oleh para ilmuwan sebagai model untuk kondisi ekstrim di planet lain, tempat yang diduga tak mungkin ditempati organisme apapun untuk hidup. Namun, penelitian dari Dr. Scott Rogers, seorang profesor ilmu biologi di Bowling Green State University, bersama rekan-rekannya, secara mengejutkan telah menyingkap berbagai bentuk kehidupan yang bersemayam dan bereproduksi dalam lingkungan yang paling ekstrim tersebut. Sebuah makalah yang dipublikasikan dalam jurnal PLoS ONE (Public Library of Science) edisi 26 Juni, merinci ribuan spesies yang teridentifikasi melalui pengurutan DNA dan RNA.
“Batas-batas pada apa yang layak huni dan apa yang tidak berubah,” umbar Rogers. Hasil studi kini menjadi artikel keempat yang dipublikasikan tim riset dalam menginvestigasi Danau Vostok. Riset yang memakan biaya lebih dari 250 ribu dolar ini terwujud berkat dukungan beberapa pendanaan: dua hibah di antaranya berasal dari National Science Foundation, satu dari U.S. Department of Agriculture dan satu lagi dari Komite Riset Fakultas Bowling Green State University.
Saat berpikir tentang Danau Vostok, Anda harus berpikir besar. Selain sebagai yang terdalam keempat di dunia, danau ini juga yang terbesar dari sekitar 400 danau subglasial yang ada di Antartika. Es yang menutupinya selama 15 juta tahun kini memiliki kedalaman sejauh lebih dari dua mil, menciptakan tekanan yang besar pada danau. Beberapa nutrisi tersedia di sana. Danau ini terletak jauh di bawah permukaan laut dalam sebuah tekanan yang sudah terbentuk sejak 60 juta tahun yang lalu di saat lempeng benua bergeser dan terpecah-pecah. Iklim di sana begitu keras dan sulit ditebak sehingga, untuk mengunjunginya, para ilmuwan harus berbekal peralatan khusus dan pelatihan bertahan hidup.
Tidak hanya dianggap sebagai tak layak huni, Danau Vostok bahkan diduga sebagai lingkungan yang steril. Namun apa yang ditemukan Roger lewat penelitian ini jauh di luar dugaan. Bekerja dengan menyingkirkan bagian-bagian inti dari lapisan dalam es yang menggumpal dari air danau yang membeku hingga ke bagian dasar gletser yang berhimpitan dengan danau, Rogers meneliti es semurni berlian yang terbentuk dalam tekanan besar dan suhu relatif hangat yang bisa ditemukan pada kedalaman seperti itu. Tim riset mengambil sampel berupa beberapa inti dari dua area di danau tersebut; cekungan utama sebelah selatan dan area dekat teluk di ujung barat daya danau.
“Kami menemukan kompleksitas lebih dari yang dipikirkan siapapun,” seru Rogers, “Ini sungguh menunjukkan kegigihan hidup, juga menunjukkan bagaimana organisme dapat bertahan hidup di tempat yang mana beberapa tahun lalu sempat kami kira takkan ada yang bisa bertahan hidup.”
Dengan mengurutkan DNA dan RNA dari sampel gumpalan es, tim riset mengidentifikasi ribuan bakteri, termasuk beberapa yang biasanya ditemukan dalam sistem pencernaan ikan, krustasea dan cacingAnnelida, selain jamur dan dua spesies archaea, atau organisme bersel-tunggal yang cenderung hidup di lingkungan ekstrim. Spesies lain yang teridentifikasi berhubungan dengan habitat berupa sedimen danau atau laut. Psychrophiles, atau organisme yang hidup di lingkungan dingin yang ekstrim, ditemukan bersamaan dengan penghuni lingkungan panas, thermophiles, menunjukkan adanya ventilasi hidrotermal di danau tersebut. Menurut Rogers, keberadaan spesies laut dan air tawar ini mendukung hipotesis bahwa danau tersebut pernah terhubung ke laut, dan bahwa air tawar tersimpan ke dalam danau oleh gletser yang tergeser ke dalam.
Jumlah spesies secara keseluruhan paling banyak ditemukan di area dekat teluk, termasuk yang umumnya hidup di lingkungan air tawar, serta spesies laut, psychrophiles dan thermophiles. Sejumlah besar spesies lain yang ditemukan masih belum teridentifikasi. Teluk di area danau tersebut tampaknya banyak berisi aktivitas biologis.
“Banyak dari spesies yang kami urutkan merupakan jenis yang bisa kita temukan di sebuah danau,” ungkap Rogers, “Sebagian besar organisme tampaknya mahkluk air (air tawar), dan banyak spesies yang biasanya hidup di sendimen laut atau danau.”
Bagi Yury Shtarkman, salah satu bagian dari tim riset, proyek ini terbukti sangat mengasyikkan, dan bahkan berhasrat untuk seumur hidup bisa terlibat dalam studi semacam ini. “Ini adalah proyek yang sangat menantang dan semakin Anda mempelajarinya, semakin Anda ingin tahu,” ujarnya, “Setiap hari Anda menemukan hal yang baru dan menggiring ke arah lebih banyak pertanyaan yang harus dijawab. Dalam mempelajari DNA dan RNA lingkungan, kami memeriksa pada seberapa miripkah urutan-ururtan ini dengan urutan-urutan organisme yang sudah diidentifikasi dalam database nasional. Kami menelusuri evolusi dan ekologi danau itu sendiri.
Sebelum 35 juta tahun yang lalu, Antartika merupakan kawasan beriklim   hangat yang dihuni oleh beragam tanaman dan hewan. Kemudian, sekitar 34 juta tahun lalu, “terjadilah penurunan suhu secara besar-besaran” dan es menutupi kawasan danau di saat danau itu mungkin masih terhubung dengan Samudera Selatan. Peristiwa ini menurunkan tingkat permukaan laut hingga sekitar 300 meter, yang serta merta memotong Danau Vostok dari lautan lepas. Lapisan es mengalami turun naik hingga akhirnya kembali terjadi penurunan suhu besar-besaran sekitar 14 juta tahun yang lalu, menyebabkan permukaan laut mengalami tingkat penurunan yang jauh lebih rendah dari sebelumnya.
Seiring merambatnya es hingga ke seberang danau, kawasan danau itu kian jatuh ke dalam kegelapan total dan terisolasi dari atmosfer, menyebabkan meningkatnya tekanan dari bobot berat gletser. Mungkin banyak spesies yang menghilang dari danau tersebut, namun tampaknya banyak pula yang mampu bertahan seperti yang ditunjukkan Rogers dalam penelitian ini.
Selama bertahun-tahun tim Rogers bekerja untuk mengidentifikasi dan mempelajari organisme dalam gumpalan es Vostok dengan menggunakan prosedur yang melibatkan koloni bakteri dan jamur yang terkultur, namun prosesnya sangat lambat, terutama bagi mahasiswa pascasarjana yang membutuhkan hasil untuk tesis.
“Kami mulai berpikir untuk melakukannya dengan cara yang berbeda,” tutur Rogers. Alih-alih menggunakan organisme hidup yang terkultur, mereka berkonsentrasi pada pengurutan DNA dan RNA di dalam es. Metode ini, yang disebut metagenomics dan metatranscriptomics, menghasilkan ribuan urutan dalam sekali waktu untuk kemudian dianalisis menggunakan komputer – prosedur yang secara kolektif disebut sebagai metode “Big Data”. Sebaliknya, dengan prosedur lama biasanya dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan organisme berkultur yang cukup untuk beberapa lusin urutan.
Masalahnya jadi berubah, dari yang tadinya memiliki terlalu sedikit urutan menjadi memiliki terlalu banyak urutan untuk dianalisis, kata Rogers. Setelah dua tahun analisis komputer, hasil akhir menunjukkan bahwa Danau Vostok berisi serangkai ragam mikroba, termasuk beberapa organisme multiseluler.
Jauh sebelum mulai menggunakan metagenomics dan metatranscriptomics untuk mempelajari es, Rogers dan timnya sempat mengembangkan sebuah metode untuk memastikan kemurnian es. Bagian inti es direndam ke dalam larutan natrium hipoklorit (pemutih), kemudian dibilas tiga kali dengan air steril, menyingkirkan lapisan luarnya. Dalam kondisi yang sangat steril, inti es yang tersisa kemudian meleleh, tersaring dan membeku-ulang.
“Dengan menggunakan metode ini, kami dapat menjamin kehandalannya hampir 100 persen,” kata Rogers. Pada akhirnya, proses dalam metode ini menghasilkan pelet asam nukleat yang mengandung DNA dan RNA, saatnya untuk bisa diurutkan.
Rogers merasa bahwa timnya melakukan kesalahan besar dari sisi konservatif dalam melaporkan hasil-hasil riset tersebut, termasuk berupa urutan-urutan yang bisa saja hanya berasal dari gumpalan es, namun banyak pula urutan lain yang ia rasa mungkin berasal dari danau, membuka jalan awal untuk penyelidikan tambahan.
Urutan DNA yang sudah mereka hasilkan kini tersimpan dalam database National Center for Biotechnology GenBank, dan tersedia bagi para peneliti lain yang melakukan studi lebih lanjut.
Kredit: Bowling Green State University
Jurnal: Yury M. Shtarkman, Zeynep A. Koçer, Robyn Edgar, Ram S. Veerapaneni, Tom D’Elia, Paul F. Morris, Scott O. Rogers. Subglacial Lake Vostok (Antarctica) Accretion Ice Contains a Diverse Set of Sequences from Aquatic, Marine and Sediment-Inhabiting Bacteria and EukaryaPLoS ONE, 2013; 8 (7): e67221 DOI: 10.1371/journal.pone.0067221

Rabu, 26 November 2014

Menelusuri Hubungan Evolusi Antara Burung dan Dinosaurus

Dinosaurus kecil mirip­unggas asal Amerika Utara menetaskan telur­telurnya dengan cara sama seperti yang dilakukan burung­burung pengeram ­hal ini serta merta kian memperkuat kaitan evolusi antara burung dan dinosaurus. Salah satu dari sekian banyak misteri yang ingin diungkap oleh para paleontologi adalah mengetahui cara dinosaurus menetasi telur.

Apakah telurnya dikubur dalam material sarang, seperti yang dilakukan buaya? Ataukah ditetaskan dalam sarang yang terbuka tanpa penutup, seperti yang dilakukan burung pengeram?

Dengan mengacu pada sekumpulan telur yang ditemukan di Alberta dan Montana, peneliti Darla Zelenitsky dari University of Calgary, bersama David Varricchio dari Montana State University, secara ketat meneliti cangkang fosil telur milik dinosaurus kecil pemakan daging yang disebut Troodon.

Dalam temuan yang dipublikasikan dalam edisi musim semi jurnal Paleobiology, mereka menyimpulkan bahwa spesies dinosaurus ini, yang diketahui meletakkan telurnya dalam posisi yang nyaris vertikal, mengubur telur­telur hanya pada bagian bawahnya ke dalam lumpur.

“Berdasarkan perhitungan kami, cangkang telur milik Troodon sangat mirip dengan burung pengeram, memberi petunjuk bahwa dinosaurus ini tidak sepenuhnya mengubur telur ke dalam material sarang seperti yang dilakukan buaya,” jelas Zelenitsky, asisten profesor geosains.

“Telur maupun sedimen di sekitarnya menunjukkan tanda­tanda penguburan yang hanya bersifat parsial; memungkinkan dinosaurus dewasa bisa bersinggungan langsung dengan bagian sisi telur yang terbuka selama masa inkubasi,” kata Varricchio, profesor paleontologi.

Meski gaya bersarang Troodon bersifat tidak lazim, “namun terdapat kesamaan dengan penetas khas di antara burung­burung Plover Mesir yang mengerami telur­telurnya sementara sebagian dari mereka
menguburnya dalam substrat sarang berpasir,” tambah Varricchio.

Para ahli paleontologi tiada henti berupaya menjawab pertanyaan tentang bagaimana dinosaurus
menetaskan telurnya, namun selama ini terhalang akibat kelangkaan bukti seputar perilaku inkubasi.
Sebagai kerabat dinosaurus yang paling dekat, buaya dan burung bisa menjadi media yang menyodorkan beberapa jawaban terkait. Para ilmuwan mengetahui bahwa buaya dan burung yang mengubur telurnya, terdapat lebih banyak pori­pori pada cangkang telurnya, memungkinkan terjadinya respirasi meski dalam keadaan terkubur. Berbeda halnya dengan burung­burung pengeram yang tidak mengubur telurnya; jumlah pori­pori pada telurnya lebih sedikit.Para peneliti menghitung dan mengukur pori­pori pada cangkang telur Troodon untuk menilai bagaimana terjadinya penguapan air yang melalui cangkang, kemudian dibandingkan dengan telur dari buaya, burung bersarang­gundukan dan burung pengeram.

Mereka optimis metode ini juga bisa diterapkan pada fosil telur spesies­spesies dinosaurus lainnya untuk mengungkap cara inkubasi yang mereka lakukan.

“Untuk sementara, penelitian khusus ini membantu membuktikan bahwa beberapa perilaku menetas
seperti yang dilakukan unggas sudah berevolusi pada dinosaurus pemakan daging sebelum kemunculan unggas di muka bumi. Hal ini juga kian menambah bukti yang menunjukkan eratnya kaitan evolusi antara burung dan dinosaurus,” ungkap Zelenitsky.

Diambil dari : faktailmiah.com

David J. Varricchio, Frankie D. Jackson, Robert A. Jackson, Darla K. Zelenitsky. Porosity and water vapor conductance of twoTroodon formosuseggs: an assessment of incubation strategy in a maniraptoran dinosaur. Paleobiology, 2013; 39 (2): 278 DOI: 10.1666/11042

Melacak Sejarah dan Komposisi Alam Semesta

Melacak Sejarah dan Komposisi Alam Semesta

Ada dua cabang ilmu dasar yang mempelajari alam semesta, yaitu astronomi dan kosmologi. Astronomi mempelajari benda-benda angkasa di luar Bumi dan merupakan salah satu ilmu tertua dalam peradaban manusia. Kosmologi kemudian lahir sebagai ilmu yang mempelajari asal-muasal, komposisi, dan perkembangan alam semesta.

Tidaklah sulit untuk mencari objek astronomi. Dua contoh yang paling dekat adalah matahari dan bulan.

Tidak perlu instrumen canggih untuk mencari benda-benda angkasa hanya sekadar untuk memulai belajar astronomi. Ada dua contoh objek kosmologi yang paling dekat dengan kehidupan kita. Pertama adalah kegelapan di malam hari, kedua adalah siaran “semut” yang muncul saat pergantian satu channel ke channel lain di pesawat televisi kita. Sekira satu persen dari “semut” yang kita lihat tersebut (Gambar 1) berasal dari Cosmic Microwave Background (CMB/Latar Kosmik Gelombang Radio).

Malam yang gelap
Fenomena malam gelap terlihat sederhana, namun penjelasannya tidaklah begitu sederhana. Kosmologi menganut prinsip bahwa alam semesta dalam skala besar bersifat isotropik dan homogen; karena ada lebih dari 400 miliar (1 miliar = 109) bintang di dalam galaksi kita. Karena ‘dikepung’ oleh bintang-bintang, maka seharusnya Bumi kita terang-benderang baik siang atau malam. Paradoks ini disebut Paradoks Olber (Heinrich Olber, Astronom Jerman, 1758 – 1840).
Salah satu solusi paradoks ini adalah menyaratkan alam semesta memiliki umur tertentu dan mengembang.

Inilah dua karakter alam semesta yang penting dalam ilmu kosmologi. Jadi, malam hari yang gelap adalah satu dari dua contoh objek kosmologi yang paling dekat dengan kehidupan kita.
”Cosmic Microwave Background” CMB adalah radiasi elektromagnetik dengan frekuensi pada daerah gelombang radio. CMB pertama kali terdeteksi secara tidak sengaja oleh Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965 (Gambar 2), yang sedang melakukan riset untuk memperbaiki transmisi data komunikasi untuk kepentingan industri. Mereka mendapat kesulitan untuk menghilangkan gelombang gangguan (noise) pada daerah gelombang radio yang diterima antena mereka dari segala arah. Segala cara sudah dilakukan, termasuk mengusir burungburung yang bersarang di bagian dalam antena dan membersihkan dari kotorannya.

Gangguan ini ternyata adalah CMB, yang sebelumnya sudah diprediksi oleh George Gamow (1904-1968), pada tahun 1946 sebagai salah satu konsekuensi dari Teori Dentuman Besar (Bigbang Theory). Teori ini menjelaskan kejadian awal alam semesta yang merupakan sebuah titik kecil masif tanpa dimensi dan kemudian meledak sehingga kemudian terciptalah dimensi ruang-waktu, radiasi, dan materi (Gambar 3). Sisa-sisa radiasi yang terjadi saat dentuman itu seharusnya masih ada sampai sekarang dalam bentuk gelombang radio. Penzias dan Wilson mendapatkan Nobel pada tahun 1978 atas pembuktian eksistensi radiasi ini. CMB, pembuka jalan.

Seperti halnya cahaya tampak (pada panjang gelombang 380 nanometer – 780 nanometer), CMB juga terdiri dari partikel cahaya (foton), tapi pada panjang gelombang radio (sekira 1 milimeter sampai dengan 10 milimeter). Foton-foton CMB ini mengisi penuh alam semesta kita dengan kerapatan 400 per cm3—kirakira ada 400 foton CMB menembus ujung ibu jari kita setiap saat. Jadi, dari satu sisi, Olbert benar bahwa seharusnya Bumi kita dihujani cahaya dari segala arah, sayangnya cahaya itu bukanlah cahaya tampak.

Satelit COBE (Cosmic Background Explorer) yang diluncurkan pada tahun 1989 mengukur temperatur CMB saat ini 2,725 +/- 0,002 derajat K (disebut juga temperatur alam semesta) dan membuktikan bahwa radiasi CMB mengikuti hukum Radiasi Kotak Hitam (Blackbody Radiation). Selain mengukur temperatur, satelit COBE juga “memotret” CMB dan menemukan fluktuasi kecil temperatur pada CMB (anisotropi CMB).

Fluktuasi ini kemudian dipelajari sebagai indikasi bagaimana materi dan radiasi terdistribusi saat alam semesta masih sangat muda. Pemahaman ini adalah kunci untuk memahami bagaimana galaksi dan struktur berskala besar pengisi alam semesta kita terbentuk.

COBE kemudian dilanjutkan oleh satelit WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) untuk
mendapatkan fluktuasi CMB dengan akurasi lebih tinggi (Gambar 4). Satelit ini diluncurkan pada tahun 2001 dan memberikan hasil lebih mengejutkan daripada COBE. Salah satunya adalah perhitungan kandungan alam semesta yang terdiri dari komposisi 4 persen dari materi dan radiasi yang kita kenal, 22 persen dari materi tak dikenal (disebut dark matter), dan 74 persen dari energi yang misterius (disebut dark energy).

”Dark matter” &”dark energy”
Dark matter terdeteksi dari ketidakcocokan antara perhitungan per putaran galaksi Bima Sakti dan pengamatan langsung kecepatan galaksi. Dari pengetahuan kita tentang sifat fisik galaksi Bima Sakti kita bisa menghitung kecepatan perputaran galaksi. Namun, pengamatan menunjukkan hasil lain yang menandakan bahwa ada massa yang tidak teridentifikasikan dalam galaksi Bima Sakti. Massa yang tidak teridentifikasikan inilah yang dinamai dark matter.

Berbeda dengan lubang hitam (black hole), dark matter tidak memancarkan atau memantulkan radiasi. Ini membuat astronom kesulitan untuk mendeteksinya. Selain dari pengamatan kecepatan galaksi, dark matter bisa dideteksi dari pengaruh gaya gravitasi yang dipancarkannya. Satelit WMAP menyatakan 22 persen alam semesta terdiri dari dark matter.

Sementara dark energy adalah energi yang melawan gaya gravitasi – disebut juga anti-gravitasi. Energi ini sudah diprediksi oleh teori Relativitas Umum Einstein, energi inilah yang menyebabkan alam semesta sedang mengembang dengan percepatan tertentu, mengalahkan gaya gravitasi, seperti saat ini. Alam semesta mengembang dengan percepatan tertentu telah dibuktikan oleh Edwin Hubble (1889-1953), astronom Amerika Serikat, pada tahun 1929. Dan satelit WMAP mendeteksi 74 persen komposisi alam semesta adalah dark energy. Beberapa eksperimen berteknologi canggih dan beragam metode sedang dirancang untuk melacak lebih akurat mengenai eksistensi dark matter dan dark energy.

Sementara itu, materi yang terbuat dari atom-atom, atom-atom yang tersusun dari proton-neutronelektron, dan proton-neutron yang terbuat dari quark, serta radiasi sebagai manifesto cahaya hanyalah mengisi 4 persen dari alam semesta kita. Dengan kata lain, ilmu fisika kita yang sudah kita anggap mapan hanyalah sanggup untuk menjelaskan 4 persen dari alam semesta kita – dan itu pun belum sempurna karena masih banyak hal-hal yang belum sempurna terjelaskan dari interaksi materi dan radiasi. Baik dark matter maupun dark energy adalah tambahan misteri di dunia sains kita. Febdian Rusydi Alumni Fisika Teknik ITB, Mahasiswa S-3 di grup Fisika Astropartikel KVI, Rijk suniversiteit Groningen, Belanda.


( Sumber : fisika.net oleh Febdian Rusydi)

Benarkah Mammoth Punah Karena Kurang Gizi?

Mammoth adalah binatang purba yang diperkirakan hidup sekitar 50 ribu tahun yang lalu. Apa
yang membuatnya punah? berikut berita yang dapat dilansir Astronopedia.

Mammoth awalnya diperkirakan hidup dengan memakan rumput. Namun dari studi terhadap DNA dan fosil isi perut,diketahui bahwa hewan raksasa zaman es itu mengonsumsi tanaman yang lebih berkualitas, disebut forb. Salah satucontoh tanaman tersebut adalah semanggi.
Jika rumput sulit dicerna dan nutrisinya rendah, forb memiliki protein tinggi.
Dalam studi, Eske Willerslev dan rekanrekannyadari University of Copenhagen, Denmark menemukan bahwa 50 ributahun lalu, Arktik diselimuti oleh keanekaragaman tanaman forb. Namun itu tidak berlangsung lama.
Sekitar 20 ribu tahun lalu, kondisi menjadi sangat dingin dan kering, akhirnya terjadi penurunan keanekaragaman forb," kata Willerslev. "Mereka masih mendominasi ekosistem, namun keanekaragamannya terus menurun,"sebutnya.
Kondisi mematikan terjadi di akhir zaman es, sekitar 12 ribu tahun lalu. Rumput dan semaksemak
mulaimenggantikan forb. Perubahan lingkungan ini terjadi bersama dengan penurunan mega fauna zaman es tersebut.
Menurut Willerslev, teori ini juga menjelaskan mengapa rusa kutub menjadi satusatunya
hewan besar zaman es yangmampu bertahan. Hewan itu mengonsumsi rumput dan ilalang di musim panas, lalu jamurjamurandi musim dingin.
Anjloknya forb tidak banyak berpengaruh bagi mereka.
(Muhammad Firman. Sumber: newscientist.com)
 
Copyright © 2013 Astrono Pedia
Powered by Blogger